Kebakaran hutan dan lahan seakan
sudah menjadi "tradisi" tahunan di Indonesia terutama setiap kali
musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98,
diestimasikan sekitar 10 juta hektare lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian
untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika.
Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.
Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.
Dampak penting dari kebakaran
hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan
hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau dan orang utan) yang
kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal
penerbangan dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya
karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di
enam Negara di lingkup ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap yang
diekspor dari kebakaran di Indonesia
pada tahun 1997-98.
Penyebab utama dari kebakaran
hutan dan lahan adalah ulah manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan
hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll
(lihat Gambar 1). Selain itu, kebakaran diperparah akibat meningkatnya
pemanasan global itu - kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan dengan
pengaruh iklim El NiƱo, memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran
hutan dan lahan.
Setiap tahunnya dalam musim
kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang
dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan
terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh
konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak
1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data
yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah
mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di
lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar
67% hotspots (titik panas) terjadi di lahan gambut.
Data terakhir berdasarkan pantauan
koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, antara 1-31 Juli 2006, terdapat 56%
titik panas yang ditemukan di Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada
periode yang sama, hampir 30% dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan
Barat juga terdapat pada tanah gambut.
Hutan pada lahan gambut mempunyai
peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon
global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat
keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang
terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan.
Pondasi utama dari lahan gambut
yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan
mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons
(menyerap air), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi
subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi
menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan
karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang
pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.
Menurut Data Kementerian
Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan
karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan apalagi
diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak
karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim
menjadi lebih cepat terjadi sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya
akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya.
Untuk itu, WWF-Indonesia
menghimbau pihak pemerintah, swasta dan masyarakat luas untuk bersama-sama
berbuat mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama:
Pembukaan lahan gambut harus
dihentikan dan semua lahan gambut harus dilindungi dan dikelola secara seksama
dengan memperhatikan tata hidrologi secara makro dan potensi lepasnya emisi
karbon ke atmosfer.
Sektor swasta harus menerapkan
praktek pengelolaan lestari dan bertanggung jawab, termasuk meniadakan
pembakaran lahan dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman
hayati di sekitar konsesi mereka.
Harus ada mekanisme terpadu untuk
mengkoordinasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan
menerapkan peraturan terutama terkait perlindungan lingkungan.
Masyarakat setempat harus
diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan lahan yang
lestari, terutama membantu petani/pekebun skala kecil dalam proses transfer
ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.
Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi:
Fitrian Ardiansyah,
Program Coordinator - Forest Restoration & Threats Mitigation,
fardiansyah@wwf.or.id
Dedi Hariri,
Forest
Fire Monitoring Officer,
dhariri@wwf.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar