Senin, 23 September 2013

Pencegahan Kebakaran Hutan Kita



Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi "tradisi" tahunan di Indonesia terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98, diestimasikan sekitar 10 juta hektare lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika.


 Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam Negara di lingkup ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap yang diekspor dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997-98.

Penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll (lihat Gambar 1). Selain itu, kebakaran diperparah akibat meningkatnya pemanasan global itu - kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El NiƱo, memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan.


Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hotspots (titik panas) terjadi di lahan gambut.

Data terakhir berdasarkan pantauan koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, antara 1-31 Juli 2006, terdapat 56% titik panas yang ditemukan di Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada periode yang sama, hampir 30% dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan Barat juga terdapat pada tanah gambut.

Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan.


Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.

Menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya.

Untuk itu, WWF-Indonesia menghimbau pihak pemerintah, swasta dan masyarakat luas untuk bersama-sama berbuat mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama:
Pembukaan lahan gambut harus dihentikan dan semua lahan gambut harus dilindungi dan dikelola secara seksama dengan memperhatikan tata hidrologi secara makro dan potensi lepasnya emisi karbon ke atmosfer.
Sektor swasta harus menerapkan praktek pengelolaan lestari dan bertanggung jawab, termasuk meniadakan pembakaran lahan dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati di sekitar konsesi mereka.
Harus ada mekanisme terpadu untuk mengkoordinasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan menerapkan peraturan terutama terkait perlindungan lingkungan.
Masyarakat setempat harus diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan lahan yang lestari, terutama membantu petani/pekebun skala kecil dalam proses transfer ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.

Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi:
Fitrian Ardiansyah,
Program Coordinator - Forest Restoration & Threats Mitigation,
fardiansyah@wwf.or.id

Dedi Hariri,
Forest Fire Monitoring Officer,
dhariri@wwf.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar